Vitamin merupakan sekelompok senyawa organik amina berbobot molekul kecil yang memiliki fungsi vital dalam metabolisme setiap organisme. Sebagai contoh fungsi vital dari vitamin adalah vitamin dapat mengaktifkan beberapa enzim yang berperan penting dalam metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Berdasarkan sifat kelarutannya, vitamin dibagi menjadi 2, yaitu vitamin yang larut dalam air dan vitamin yang larut dalam lemak.
Salah satu vitamin yang larut dalam air yang penting bagi tubuh adalah vitamin C.  Salah satu manfaat dari vitamin C telah dilaporkan oleh Cowal, Diehl, dan Baker (1942) yang dikutip oleh  Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005), konsumsi vitamin C 200 mg/hari dapat mengurangi kejadian dan tingkat keparahan penyakit pilek pada sekelompok mahasiswa. Pada saat itu, konsumsi vitamin C hanya sekitar 30 mg/hari dan dianggap perlu untuk dikonsumsi untuk pencegahan sariawan, satu-satunya penyakit yang dapat dihubungkan dengan defisiensi vitamin C.  Sehingga konsumsi 200 mg/hari dianggap dosis yang terlalu besar bagi kebanyakan dokter.
 M. Özaslan,dkk (2004) melakukan suatu pengamatan tentang pengaruh suplementasi vitamin C terhadap jumlah leukosit dan performa latihan. Penelitian ini ingin mengamati pengaruh pemberian suplementasi vitamin C yang berbeda terhadap perubahan leukosit tikus dan performa latihan dengan melihat lamanya waktu tikus tersebut berenang sampai tikus tersebut lelah. Hipotesis dari pengamatan tersebut adalah sistem imun dan performa latihan akan meningkat pada tiap-tiap dosis vitamin C yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan hewan percobaan berupa tikus sebanyak 40 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 10 ekor tikus. Semua tikus dikandangkan dan kondisi ruangan diatur sedemikian rupa sehingga dapat terkontrol. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol, diberikan ransum standar dan diberikan air isotonik sebayak 13 mg/hari yang diberikan dengan cara injeksi intraperitoneal. Kelompok dua merupakan kelompok sampel yang diberikan ransum standar dan diberi 4 mg/hari vitamin C yang diberikan dengan cara injeksi intraperitoneal (125 mg/kg) (C4). Kelompok tiga merupakan kelompok sampel yang diberikan ransum standar dan diberi 8,8 mg/hari vitamin C yang diberikan dengan cara injeksi intraperitoneal (275 mg/kg) (C9). Kelompok empat merupakan kelompok sampel yang diberikan ransum standar dan diberikan 13 mg/hari vitamin C yang diberikan dengan cara injeksi intraperitoneal (406 mg/kg) (C 13).
Sumber vitamin C yang digunakan berasal dari suplemen Redoxon®, Roche Pharmaceuticals, yang mengandung 500 mg/5 ml vitamin C. Sampel darah diambil pada hari ke 7, 14, 21, dan hari ke 28, dan preparat disimpan dan diwarnai dengan pewarna geimsa. Pengukuran jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil diukur dengan menggunakan jumlah manual standar dan metode formula.
Metode pengukuran performa latihan dengan cara tes kemampuan berenang tiap-tiap tikus yang dilaksanakan pada akhir minggu ke 4. Tes tersebut dilakukan pada kolam renang dengan panjang kolam 10 cm dan diameter kolam 25 cm. Waktu yang dicatat adalah waktu dimulainya tikus tersebut masuk ke dalam kolam hingga tikus tersebut tidak mampu lagi mempertahankan kepalanya di atas permukaan air.
Untuk pemeriksaan patologi, pemeriksaan dilakukan dengan pengambilan beberapa jaringan berupa hati, ginjal, limpa, lambung, jantung, ekor, bulu kulit, otak, serta kaki yang dilakukan setelah hari ke 28. Preparasi diperiksa dengan menggunakan pewarnaan Hematoxilen-Eosin.
Hasil yang didapat dari percobaan tersebut adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan persentase limfosit, monosit, dan neutropil tiap hari pengamatan untuk tiap kelompok. Akan tetapi terdapat perbedaan yang signifikan ketika hasil yang diperoleh tersebut dengan membandingkan antara sampel dengan kontrol. Jika dibandingkan dengan kontrol, terjadi peningkatan persentase limfosit untuk sampel C4, C9 dan C13 secara signifikan. Akan tetapi, persentase neutropil malah menurun.
Untuk pengukuran performa latihan berdasarkan waktu renang, didapat hasil yang berbeda antar kelompok, di mana waktu renang meningkat secara signifikan untuk masing-masing kelompok dengan meningkatnya dosis vitamain C yang diberikan. Hasil pengamantan pada morfologi jaringan yang diamati pada beberapa jaringan menunjukkan terdapatnya sedikit inflamasi yang terdeteksi pada jaringan sampel mulai dari ginjal, hati, limpa dan jantung. Hasil tersebut ditemukan baik pada kelompok kontrol maupun kelompok sampel. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa suplementasi vitamin C tidak menyebabkan kerusakan pada morfologi jaringan.
Kayaalp (2000), Bender AE,dkk (1982) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004) menyatakan bahwa defisiensi vitamin C dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan, kelelahan, penurunan kinerja aktivitas fisik, peningkatan nyeri otot, supresi imun, rentan terhadap penyakit, serta lambannya proses pemulihan akibat infeksi. Selain itu pula, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peters EM (1993) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004) menyatakan bahwa jumlah penderita ISPA mengalami penurunan 50 % yang diberi perlakuan pada kelompok pelari marathon dengan pemberian suplemen vitamin C, hasil yang sama juga dilaporkan pada orang biasa. Akan tetapi, hasil yang berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Marshall RJ, dkk (2002) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004), bahwa tidak ada pengaruh terhadap suplementasi vitamin C terhadap kapasitas antioksidan pada anjing greyhound.
De la Fuente M,dkk (2001) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004) melaporkan bahwa syok endotoksin dapat menurunkan chemotaksis limfosit dan dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dilaporkan bahwa N-acetylcysteine ​​dan vitamin C dapat mencegah terjadinya perubahan fungsi pada limfosit. Selain itu pula, berdasarkan hasil penelitan Ozturk, dkk, (2001) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004) melaporkan bahwa vitamin C dapat mencegah masuknya Ca2+ ke dalam bagian intraselluler yang merupakan bentuk yang diakibatkan dari stres oksidatif sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan intraselluler.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh terhadap pemberian suplementasi vitamin C baik pada olahragawan maupun orang biasa. Akan tetapi berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Brauns,dkk (1980), Senger, dkk, (1975) yang dikutip oleh M. Özaslan,dkk (2004) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan leukosit (khususnya limposit) dan level vitamin C setelah latihan, sehingga hasil ini mengindikasikan terjadi pelepasan vitamin C dari organ sebagai bentuk pertahanan dari pembentukan stres sebagai akibat dari latihan. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Özaslan,dkk (2004), menunjukkan bahwa dengan meningkatnya dosis suplementasi vitamin C yang diberikan pada sampel menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan level limfosit darah dan performa latihan dapat meningkat hal ini terbukti dari waktu yang diperlukan oleh tikus tersebut untuk berenang menjadi meningkat dengan meningkatnya dosis suplemen vitamin C yang diberikan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Özaslan,dkk (2004) sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005) tentang Asam askorbat dan sistem imun.
Berdasarkan hasil penelitian Shilotri,dkk (1977), Goldschmidt (1991), yang dikutip oleh Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005) menunjukkan aktivitas antimikroba baik secara in vivo maupun secara in vitro, vitamin C memiliki peran pada sistem imunitas manusia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Evans,dkk (1982), Moser U. (1987) yang dikutip oleh Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005) menunjukkan bahwa kandungan vitamin C leukosit berperan pada imunitas host 80 kali lebih baik daripada vitamin C plasma.
Berdasarkan hasil penelitian Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005) yang tertera pada gambar 1 menyajikan gambaran sederhana tentang hubungan asam askorbat pada sistem kekebalan tubuh. Mekanisme ini dimulai dari bagian kiri atas, diagram ini menjelaskan proses bagaimana asam askorbat dan glukosa dibawa keseluruh sel yang diperantarai oleh insulin, termasuk juga sel pagosit yang berperan dalam mencari, menyerang, menghancurkan bakteri, virus, sel-sel tumor, dan berbagai macam kotoran mikroskopis seluler yang berasal dari darah. Sistem transportasi umum ini menggambarkan persaingan antara glukosa dan asam askorbat dan menjelaskan mengapa diperlukan asam askorbat dosis tinggi untuk mengatasi hambatan oleh glukosa. Glukosa tidak hanya menghambat transportasi asam askorbat ke semua sel-sel tubuh, tetapi juga menghambat stimulasi  hexose monophosphate (HMP) shunt oleh asam askorbat.
Shunt HMP merupakan sebuah proses penyimpangan antara tahapan pertama dan kedua pada jalur glikolitik Embden-Meyerhoff. Seperti yang tertera pada gambar 1, pada tahapan pertama glikolisis merupakan tahapan phosporilasi menjadi glukosa 6 phospat yaitu proses mengubah glukosa menjadi CO2,H2O, dan energi pada siklus krebs. Tahapan kedua pada proses glikolisis merupakan tahapan penataan ulang glukosa 6 phospat menjadi fruktosa 6 phosphat. Pada gambar 1 ini menjelaskan bagaimana asam askorbat dapat merangsang proses pengalihan glukosa 6 phospat dari glikolisis ke shunt HMP.
Shunt HMP memiliki 2 fungsi yang penting bagi sistem kekebalan tubuh, fungsi yang pertama yaitu mengubah glukosa (6 carbon) menjadi glua 5 karbon, ribosa dan deoksiribosa, yang penting untuk sintesis komponen genetik RNA dan DNA. Fungsi yang kedua yaitu adalah mereduksi niasin yang merupakan koenzim dari proses perubahan NADP ke NADPH.
Gula Lima-karbon dibutuhkan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mendukung aktivitas mitosis yang meningkat dalam proses proliferasi sel imun tubuh. Baris pertama dalam pertahanan host melawan patogen adalah dengan cara penyebaran secara cepat sejumlah leukosit fagositik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, gula lima-karbon memungkinkan terjadinya sintesis DNA dan RNA yang diperlukan untuk proliferasi sel fagositik. NADPH yang dihasilkan oleh shunt HMP digunakan oleh sel fagosit untuk menghasilkan superoksida dan serangkaian jenis oksigen yang sangat reaktif, yang digunakan untuk membunuh patogen yang menyerang.
Pada akhirnya, phagosit mengeluarkan oksidan yang bersifat sangat reaktif yang biasanya digunakan untuk aktivitas pembunuhan, oksidan yang sangat reaktif ini keluar dari bagian sel hingga masuk pada bagian ekstraseluler. Oksidan ini secara biokimia merupakan toksik bagi sel inang dan harus dihancurkan sebelum mereka melakukan kerusakan bagi tubuh. Asam askorbat mulai berperan di sini dan berperan sebagai antioksidan, dengan cara menghancurkan racun yang berlebihan ini. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005), dapat disimpulkan bahwa asam askorbat sangat penting bagi fungsi sistem kekebalan tubuh serta dapat menjadi stimulator sistem kekebalan tubuh yang potensial.
Dapat disimpulkan dari penelitian yang dilakukan oleh M. Özaslan,dkk (2004) dan Fred Ottoboni dan Alice Ottoboni (2005) bahwa vitamin C berperan dalam sistem imun pada tubuh manusia.
Referensi :

Fred Ottoboni, Alice Ottoboni, 2005, Ascorbic Acid And The Immune System, Journal Of Orthomolecular Medicine Vol. 20, No. 3, 2005
M. Özaslan, Dkk, 2004,  The Effect Of Vitamin C Supplementation On Leucocyte Counts and Exercise Performance, Univercity Of Gaziantep, Faculty Of Science And Letter, Department Of Biology, Turkey. univercity Of Gaziantep, Faculty Of Medicine, Department Of Public Health, Turkey. univercity Of Gaziantep, Faculty Of Medicine , Department Of Pathology, Turkey. univercity Of Gaziantep, Faculty Of Medicine, Department Of Physiology, Turkey,  Issn 1097-9751,  An International Electronic, Journal  Volume 7 Number 2 April 2004.

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Powered by Blogger.

Translate

Popular Posts